Artikel ini pernah dimuat di Acehnews.co. Kembali diangkat untuk mereflesikan upaya BFLF dalam pemenuhan kebutuhan darah untuk Indonesia. Rekam Jejak Menjelang Satu Dekade BFLF.
Bagaimana jika satu daerah tingkat dua di Indonesia, mampu
menyelesaikan khasus krisis darah di wilayahnya, yang sampai saat ini masih
belum terpecahkan di Indonesia? Data dari Badan Kesehatan Dunia atau World
Health Organization (WHO) menyebutkan, pada pertengahan tahun 2017, Indonesia
membutuhkan stok darah minimal 5,1 juta kantong pertahun.
Angka yang sama dengan jumlah dua persen penduduk Indonesia
itu hanya terpenuhi sebanyak 4,1 juta kantong, dari 3,4 juta individu yang
mendonorkan darahnya. Menariknya, 90 persen dari individu tersebut pendonor
sukarela.
Fenomena tersebut menjadikan sebuah daerah di bagian selatan,
Provinsi Aceh, mencoba menangani kebutuhan darah mereka secara mandiri. Lewat
sebuah lembaga kemanusiaan yang bergerak di bidang penggalangan darah, yaitu
Blood For Life Foundation (BFLF) Aceh Selatan.
BFLF Aceh Selatan yang resmi berdiri pada April 2017 itu
merupakan cabang dari BFLF pusat yang berada di Banda Aceh. BFLF pusat sendiri,
lahir pada 26 Desember 2010, bertepatan
dengan peringatan enam tahun Tsunami Aceh, sebagai wadah pengaduan dan media
bagi masyarakat Aceh untuk membangun kesadaran pendonor.
Pada akhir Oktober lalu, Siti Hawa 42 tahun, membawa Muhip,
20 tahun, anak lelakinya yang terkena kangker ke Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA) Banda Aceh. Siti Hawa
mengatakan, sebelum anaknya dirujuk ke Banda Aceh, dari Rumah Sakit Umum
Yuluddin Away (RSUYA), Tapaktuan, ia kesulitan mendapatkan lima kantong darah
dari rumah sakit daerah tersebut.
Hingga akhirnya, ia mendapatkan kabar bahwa ada sebuah
organisasi di Aceh Selatan, yang membantu pasien mendapatkan relawan pendonor.
Waktu itu, kisah Siti Hawa, lima kantong darah merah segar lebih sulit di
dapatkan daripada membeli emas.
“Bisa saja, kalau saat itu darah tidak cukup, dan orang tak
mau menyumbangkan darahnya untuk anak saya, bisa saja anak saya akan meninggal,”
kenang perempuan yang dijumpai di Rumah Singgah BFLF Banda Aceh, ketika membawa
anaknya, cek up ke RSUZA.
Warga Aceh Selatan memiliki kepercayaan bahwa, siapapun yang
membantu keberlangsungan hidup orang yang tak dikenal sebelumnya, maka mereka
akan diangkat sebagai “saudara sebut” atau saudara angkat. Itulah yang
dilakukan Siti Hawa kepada mereka yang telah rela menyumbangkan darah untuk
anaknya.
“Setelah keluar dari Rumah Sakit Tapaktuan, kami membuat
syukuran di rumah. Dan kami mengundang mereka yang telah membantu anak saya
malam itu, termasuk Pak Ogek, yang bantu saya cari pendonor,” kata Siti Hawa,
sambil menggosok kedua matanya dengan tangan.
Pak Ogek, yang disebut Siti Hawa, adalah Ketua BFLF Aceh
Selatan. Ia dan rewalan BFLF lainnya, berhasil menggalang relawan lebih 2500 orang
untuk memenuhi kebutuhan darah di RSUYA Tapaktuan. [Bersambung] Desi Badrina