![]() |
Arief Arbianto ketika melakukan donor darah rutinnya ke-25, Jumat (17/7). Foto: Dokumen pribadi |
“Boss, mesti kali di-share di sosmed tiap kali donor. Apa
masih ada pahalanya? Nampak kali nggak ikhlasnya, tiap berbuat kebaikan
ditunjukkan gitu. Biar semua orang tahu ya?” Tulis Arif dalam pembuka
catatannya.
Saat ditanya apa yang membuat Arief menulis satu kampanye dengan bentuk ajakan
unik seperti itu, dia mengatakan, sebenarnya ia hanya ingin menggugurkan
anggapan orang tentang “pamer dan pencitraan” dalam tiap kebaikan yang dipublikasikan.
Menurutnya, jarang orang mengekspos sesuatu yang baik, seperti berfoto
saat donor darah, untuk kepentingan profokasi, dengan tujuan ayo ikut donor
darah.
Ia menceritakan ihwal kenapa tulisan itu akhirnya ia rilis pertama kali
pada akun Facebooknya, Mawasep Kosonglapan. Katanya, dia baru saja melakukan
donor darah pada Jumat (17/7). Dan aktifitas memajang foto dirinya sedang donor
darah, di akun media sosial miliknya, memang selalu dia lakukan.
Namun hari itu, setelah sempat berdiskusi
tentang tren bersepeda dalam grup media sosial yang diikutinya, ternyata muncul
ide untuk “melatahkan” aksi donor darah, lewat foto dan kata-kata yang ternyata
menuai banyak pujian
Menilik dari fenomena bersepeda, Arief
yakin, latah yang baik, akan menghadirkan kecenderungan yang baik pula.
“Orangkan sering terperangkap dengan
kata riya atau pamer. Akhirnya karena takut pamer atau riya itu, dia hanya
melakukan kebaikkan untuk dirinya sendiri, karena diangap kebaikan donor darah
menghasilkan pahala,” jelas Arief.
Ketika aksi donor darah dianggap mendatangkan
pahala, lanjut Arief, dan saat lagak tersebut ia sebarkan di media sosial, maka
oleh kebanyakan orang, dia telah mengorbankan “pahala” dari kebaikan donor
darah itu.
“Katakanlah saya mengorbankan pahala
dari pamer donor darah yang saya lakukan. Tapi, kalau pahala saya yang hilang
itu, kemudian ada 10 orang lagi berbuat kebaikan, karena pengorbanan aksi pamer yang
saya lakukan, apakah pahala mereka tidak balik ke saya? Kan mereka donor setelah
saya pamer, misalnya,” kata Arief,
meluruskan tentang esensi Donor Kok Pamer dalam tulisannya.
Masalah apakah dia riya atau pamer,
biarlah itu menjadi urusannya. Dia berharap, semua orang juga menunjukkan kegiatan
donor darah yang pernah mereka lakukan di semua akun media sosial mereka, dengan
niat, mana tahu akan jadi sebuah tren.
Arief meminta pada insan aktif
mendonorkan darahnya, agar tidak terjebak dengan anggapan satu kebaikan dari
aksi donor darah akan hilang pahalanya saat dipertontonkan di media sosial.
Catatan Arief Arbianto kemudian dibagikan
oleh Direktur BFLF, Michael Oktaviano pada seluruh Facebook Grup yang
berhubungan dengan donor darah yang dia follow atau like.
Seperti Perhimpunan Donor Darah Indonesia (PDDI) yang beranggotakan 13.834 ribu, Thalasemia Indonesia dengan anggota 9.849 ribu yang dibagikan oleh Pipiet Senja, seorang penyandang thalasemia tertua di Indonesia. Dan Grup Donor Darah Sukarela dengan jumlah anggota 2.756 ribu. Dan masih banyak lagi.
Seperti Perhimpunan Donor Darah Indonesia (PDDI) yang beranggotakan 13.834 ribu, Thalasemia Indonesia dengan anggota 9.849 ribu yang dibagikan oleh Pipiet Senja, seorang penyandang thalasemia tertua di Indonesia. Dan Grup Donor Darah Sukarela dengan jumlah anggota 2.756 ribu. Dan masih banyak lagi.
Beragam komentar di badan wall grup tersebut masuk.
Hampir semua anggota grup yang sempat membaca tulisan Arief mengapresiasi
caranya berkampanye. Bahkan semua orang terlihat membagikan foto mereka saat
mereka sedang dalam proses mendonor.
Berikut beberapa komentar yang sempat
redaksi kutip dari Facebook Grup:
“Saya biasa sosialisasi ke anak-anak
sekolah dan masyarakat lalu ada yang tanya, bapak sendiri sudah donor, tinggal
nunjukin kartu donor yang manual dan foto-foto saat donor. Intinya masyarakat
kita masih butuh contoh, teladan, dan ajakan. Dan maaf, paksaan,” komentar Qohar
Mahmudi dari Perhimpunan Donor Darah Indonesia (PDDI)
“Menurut saya mereka yang donor darah
terus posting di media sosial itu baik, bahkan membuat orang lain tertarik untuk
ikut mendonorkan darahnya. Terima kasih para pendonor. Tuhan membalas kebaikan
kalian,” tulis Gregorius Nafanu.
Ada yang lebih ekstrim menanggapi
persoalan pamer ini. Dari Diji Kho. Katanya “yang nggak suka ya ndak usah
baca, terus pas butuh darah, ndak usah bingung minta tolong, teriak-teriak di
medsos. Share hal yang baik dikomentari jelek, tapi kalau ada yang share
kejahatan dan anarkis di dukung.”
Dan terakhir tanggapan dari Windy SA Liklikwatil, “pamer? Biar Tuhan yang menilai itu pamer
apa bukan. Kita manusia nggak berhak men-judge. Salah-satu tujuan teman-teman
pendonor, posting foto saat dia donor adalah mengajak dan juga memberi motivasi
untuk teman-teman yang belum pernah mendonorkan darahnya untuk ikut ambil
bagian dalam kegiatan donor darah.”
Agaknya, harapan Arief Arbianto mengkampanyekan
“Donor itu Keren” dengan cara menampakkan bukti foto dan dipajang di media
sosial, cukup memengaruhi beberapa grup besar pendonor darah.
“Semoga donor darah dapat menjadi
aktifitas yang orang ndak ragu lagi, ketika sudah waktunya. Bila perlu
dia yang membuat alarm, 'oke sudah dua bulan dan waktunya saya donor',” tutup Arief Arbianto.[] Desi Badrina