Suasana pagi kembali mewarnai kehidupan keluarga gadis kecil
ini, melihat Munira dalam keadaan meangis berkepanjangan, keluarga akhirnya
memutuskan untuk menyetujui rujukan itu.
Dengan mengantongi segenap harapan demi buah hati, pagi itu
sang ibu bergegas menyiapkan segala perlengkapan yang harus dibawa agar tidak
ada yang tertinggal.
Menggunakan becak, keluarga ini pergi menuju rumah sakit
Zainal Abidin, Banda Aceh. Tentunya dengan segala prosedur protokol kesehatan
ditengah wabah pandemi ini, lagi dan lagi Munira harus menjalani pengetest-an Swab sebelum masuk
ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD).
Pada pukul 01.00 WIB Munira mendapatkan ruang inap. Setelah
mendapatkan suntikan obat selama di ruang inap, Munira tidak langsung bisa
melakukan CT SCAN, butuh waktu 20 hari untuk Munira mendapatkan jadwalnya,
karena banyak pasien yang mengantri untuk melakukan CT SCAN juga.
Jadwal yang diterima Munira ini terbilang cepat dari pada
biasanya. Kemudahan selalu datang kepada setiap hamba yang berusaha. Ayah
Munira mendapatkan jadwal CT SCAN dari salah satu pasien yang kebetulan tidak
jadi melakukan CT SCAN, dari situlah nama Munira diopsikan untuk
menggantikannya. Syukurpun terucap dari bibir kedua orangtua Munira.
Pemeriksaan CT SCAN atau Computerized Tomography Scan adalah
prosedur pemeriksaan medis yang menggunakan kombinasi teknologi sinar-X dan
sistem komputer khusus untuk menghasilkan gambar organ, tulang, dan jaringan
lunak di dalam tubuh.
****
Hari yang ditunggu-tunggupun hadir, Munira mulai berpuasa
dari pukul 04.00 WIB hingga 11.00 WIB untuk mendapatkan hasil maksimal. Semua
dilaluinya dengan lapang dada, hingga pekikkan manja seketika hilang dari bibir
mungilnya.
Setelah 2 hari berlalu, hasil CT SCAN keluar. Rasa gundah
mulai terlihat dari wajah kedua orang tuanya, gelisah menunggu dokter
membacakan hasil.
“Pak, buk, ternyata
Munira mengalami penyakit Tumor Adenokarsinoma. Adenokarsinoma merupakan jenis
karsinoma yang tumbuh dan berkembang di berbagai organ tubuh, terutama yang
memiliki kelenjar di dalamnya, seperti payudara, paru-paru, esofagus, kolon,
pankreas, prostat,” pungkas pak dokter.
Mendengar perihal itu, ibu langsung terdiam. Sang ayah yang
kuat tidak tahan air mata langsung membasahi pipinya. Ingin membawa Munira
pulang, begitu yang terlintas dipikiran mereka kala itu. Namun apa yang dapat
dilakukan? Satu sisi ingin anak sembuh, disisi lain tidak tega melihat anak
mengalami proses penyembuhan begitu berat.
Dalam keheningan itu, dokter menyarankan agar Munira segera
dilakukan tindakan demi kesehatannya.
“Pak, kita akan membuat jadwal operasi Munira. Kalau tidak maka akan berbahaya bagi
kesehatan nya,” kata dokter
“Maaf Dok, kalau untuk operasi saya kurang setuju. Apakah
ada tindakan lain Dok?,” bantah ayah.
“Tidak. Anak bapak harus operasi, silahkan bapak musyawarah
terlebih dahulu dengan pihak keluarga,” sambil permisi meninggalkan ruangan.
Ibu langsung mendekati ayah dan merayu demi kesembuhan sang
anak.
“yah, ini untuk kebaikkan Munira, kita sudah sama-sama
berjuang dari awal. Ikhlaskan saja bahwa kesembuhan Munira melalui perantara
dokter,” kata ibu.
Kedua orang tuanya saling berpelukkan dan menangis dihadapan
Munira. Munira yang cantik juga menangis menahan peradangan dalam perutnya.
Setelah mengalami berbagai macam dilema, akhirnya kedua
orang tuanya memutuskan untuk mengambil tindakan operasi.
Jadwalpun ditetapkan
tanggal 29 Desember 2020. Yaitu operasi Biopsi tumor dan operasi perubahan
Sitostomi menjadi pengeluaran kencing langsung dari kemaluan.
Biopsi adalah prosedur pengambilan sebagian kecil jaringan
dari tubuh pasien untuk diperiksa menggunakan mikroskop.
Melalui biopsi,
dokter dapat mengetahui apakah seseorang mengalami kanker atau tidak, dan
apakah suatu benjolan merupakan tumor ganas (kanker) atau tumor jinak.
Kita pasti bertanya-tanya, mengapa langsung 2 operasi?
Ya, karena kedua orang tuanya ingin Munira langsung kencing
dari kemaluan melalui kateter urine. Terhitung 14 hari Sitostomi berada
ditubuhnya, membuat orang tua merasakan rintihan dari Munira. Pada saat itu
dokter hanya mampu berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi keinginan dari pihak
keluarga pasien.
Penandatangan jadwal operasi langsung dilakukan oleh
ayahnya. Sambil menunggu tanggal yang ditetapkan, tentu saja Munira masih
dirawat diruang inap. Tangisannya tidak henti-henti, nafsu makan memang tidak
terkontrol lagi, bahkan muntah bercampur darah acapkali dikeluarkan. Ochhh
bidadari kecilku kuatkan bathin dan fisikmu, Bisikkan hati seorang ibu.
***
Tibalah hari yang menakutkan itu, cuaca yang mendung seakan
ikut bersedih akan proses yang dialami Munira. Puasa sudah dilakukan Munira
sejak sepertiga malam terakhir.
Pada pukul 08.00 WIB pengantaran Munira dilakukan oleh
perawat dan kedua orangtuanya. Namun ayah hanya mampu mengantar sampai ruang
tunggu. Karena terlalu lemah lututnya untuk melangkah ke ruang operasi dan
tidak sanggup melihat bidadari kecilnya masuk ke ruang tindakan yang terkesan
seram itu.
Tiba diruang tunggu, Munira tidak langsung masuk menuju
ruang tindakan. Butuh waktu 2 jam lamanya menunggu.
Ternyata Munira menjadi pasien terakhir yang ditindak
lanjuti. Karena yang menangani Munira ada 2 Dokter bedah, yaitu bedah tumor dan
bedah urologi. Maka dari itu harus menunggu kedua Dokter tersebut menyelesaikan
pasien lain terlebih dahulu.
Akhirnya giliran Munira tiba, mereka dijemput oleh perawat.
Dengan linangan air mata, sang ibu menemani munira yang didorong diatas tempat
tidur menuju ruang tindakan. Setengah perjalanan, tiba-tiba ibu terjatuh.
Dengan sigap, perawatpun membantu membangunkan ibu.
“bu, hati-hati bu, ibu harus kuat,” celoteh perawat itu.
“Bismillah, iya,” sahut ibu dengan fisik lemah.
Tidak lepas dari kejadian itu, ternyata ada kejadian aneh
lainnya. Munira dari awal penjemputan hingga masuk ke ruang operasi tidak
melepaskan genggaman tangan ibunya. Seolah-olah dia tidak mau pisah dari ibu.
Tangisan ibu semakin membludak disaat pemakaian baju operasi ditubuh Munira.
Namun Munira tidak menangis, sepertinya dia pasrah. Ini merupakan operasi ke-2
yang harus dialaminya.
Didalam ruang operasi, Munira mulai melepaskan genggaman ibu
dan merelakan ibu untuk pergi. Karena Munira paham bahwa ibu tidak akan sanggup
berada dalam ruangan ini. Akhirnya ibu memilih menunggu diluar, sedikit demi
sedikit ibu melepaskan genggaman buah hatinya.
Dokter menusukkan obat bius ke tubuh Munira, di situlah baru
terdengar suara tangisannya. Dengan menahan tangis, ibu meminta izin untuk
mencium hangat gadis cantiknya.
“Dok, boleh saya mencium anak saya?,” pinta ibu.
“Tentu saja boleh bu,” sahut dokter.
“Nak, kamu harus kuat dan tolong berjuang demi ayah dan ibu
ya,” lirih kecil menuju telinga dan mencium kening Munira.
Ibupun mengayun langkah beranjak keluar kamar operasi, namun
hati tidak tahan, tetiba ibu menoleh ke belakang untuk melihat Munira, rasanya
tidak tega melihat buah hatinya terbaring tak berdaya seperti itu. Dengan sigap
ibu meminta izin lagi kepada dokter.
“Dok, sekali lagi, saya mau menciumnya,” sambil berlari ke
arah Munira.
Munira sudah mulai melemah, matanya mulai tertutup. Akhirnya
ibu memilih untuk keluar. Setelah didepan pintu operasi, lagi-lagi hati tidak
rela. Ibu kembali berlari ke arah Munira
dan meminta mencium untuk terakhir kali. Rasanya batin ini koyak,
anaknya harus berjuang sendiri diruangan yang pengap itu.
Dokter langsung mengarahkan perawat untuk membawa ibu
keluar. Karena operasi harus selesai sesuai dengan target yang telah
ditentukan.
*
Di luar terlihat ayah sudah duduk dengan linangan air mata.
Ibu menghampiri ayah dan segera memeluknya.
“yah, Munira... Ma... Ma... Ma...u di operasi,” tangisan ibu
kembali pecah.
“sudah, jangan menangis lagi. Yuk, kita ambil wudhu untuk
membaca surah Yasin agar diberikan kelancaran oleh Allah,” mengelus bahu istri
dan mengajaknya beranjak dari tempat duduk.
Satu persatu ayat mulai dibaca, tidak sadar jika sudah
dipenghujung surah, terdengarlah suara dokter memanggil keluarga Munira. Sontak
keduanya langsung berdiri. Tetapi hanya satu yang diperbolehkan masuk ke
ruangan untuk melihat, ibu menyuruh ayah untuk masuk. Dengan wajah pucat dan
gemetar ayah langsung memberanikan langkah menuju ruangan itu.
Dari kejauhan ayah melihat Munira yang sedang tergeletak
dibawah lampu dengan begitu banyak alat-alat disampingnya.
“pak, silahkan masuk,” sambut dokter.
“Begini pak, anak bapak tidak bisa lagi mengeluarkan feses
atau tinja secara normal. Karena Tumor sudah menekan saluran kencing dan
saluran feses, apa boleh kami membuat lubang STOMA, untuk sementara?,” tanya
dokter.
Meyakinkan ayah Munira. Dokter menjelaskan Arti STOMA
sendiri sebenarnya adalah lubang pada tubuh. Pada beberapa kondisi, diperlukan
pembuatan lubang di dinding perut untuk mengeluarkan feses atau tinja. Dengan
demikian, feses tidak dikeluarkan melalui anus.
Dokter memperlihatkan bagian perut Munira kepada ayah, ayah
langsung lemas dan terjatuh, ketika dokter membuka tangannya yang berada di
perut Munira. Ternyata perut Munira sudah terbelah dan isi dalam perutnya di
keluarkan.
Hati siapa yang tidak hancur berkeping-keping, ketika
melihat si buah hati dalam keadaan begitu. Tangisan mulai berhamburan
jawabanpun tidak bisa dilontarkan oleh sang ayah.
“pak, silahkan jawab, karena waktu kami tidak banyak, bapak
harus menandatangani jika setuju,” Kata dokter sambil memegang ayah yang lemas.
Dokterpun menyuruh bapak untuk berdiskusi bersama keluarga
diluar untuk bisa memutuskan jawabannya.
“silahkan bapak keluar dan menanyakan pada keluarga lainnya,
namun harus cepat bapak ambil keputusan,” arahan dokter.
Bergegas ayah keluar dengan air mata yang tidak bisa
dibendung lagi. Langsung ibu memeluk ayah dan bertanya keadaan sang anak.
“mengapa Munira?,” tanya ibu cemas.
Ayah hanya diam dan terus menangis. Ibupun semakin cemas dan
mengulangi lagi pertanyaannya.
“Mengapa Munira? mengapa Munira?, Jawab yah, apa Munira masih hidup?,” paksa ayah untuk
menjawab sambil memegang kedua pipi dan menatap sepasang mata suaminya itu.
Dengan menahan tangis ayah memberitau ibu keadaan Munira
sebenarnya.
“Munira harus dibuat lubang STOMA agar bisa mengeluarkan
feses,” kata ayah sambil mengusap-usap
air matanya.
Ditengah suasana menegangkan itu, dokter sekali lagi
menghampiri orang tua Munira untuk menerima keputusan.
“Pak, silahkan ambil keputusan,” suruh dokter.
Mereka saling tatap menatap dan akhirnya menyetujui surat
yang sudah diberikan Dokter. Dalam keadaan menangis, ayah masih saja terbayang
pengeluaran isi perut Munira. Jangankan melihat lubang STOMA, mendengarnya saja
baru kali ini.
Itulah yang dirasakan oleh kedua orang tua Munira. Setelah
menandatangani akhirnya mereka keluar dan menunggu Munira hingga selesai
operasi. Mereka duduk dilantai, walau orang lain memilih duduk di kursi.
Sepasang suami istri ini hanya menangis dan berdoa. Sesekali menatap pintu
ruang operasi, berharap Munira segera keluar.
***
Tepat pukul 13.30 WIB, dokter mulai memanggil keluarga
Munira agar membawa kain untuk menutupi tubuh mungilnya.
Sewaktu Munira dikeluarkan dari ruang operasi, Alhmdulillah
Munira langsung sadar dan memanggil ibunya.
“Mak...Mamak... Mak”.
Langsung ayah menjemputnya dan membawanya keruang tunggu. Di
ruang tunggu Munira sudah disambut oleh ibu sambil tersenyum dan menciumnya.
“Bu, Silahkan naik hospital bed/ranjang pasien, bersama
Munira! Karena saya lihat ibu sudah lelah dan Munira butuh ibu,” ucap dokter.
Akhirnya mereka didorong menuju ruangan, sesampai diruangan
kedua orang tua kembali menangis saat melihat lubang STOMA yang berada ditubuh
Munira.
Keluarga pasien yang lain semua ikut menangis melihat
keadaan Munira. Karena Munira yang paling kecil diantara pasien lain.
Saat itu Munira minta makan dan minum, namun tidak diizinkan
oleh Dokter. Karena masa bius belum habis, harus menunggu sekitar 2 jam dulu.
Ternyata sebelum sampai 2 jam Munira muntah. Mengeluarkan cairan dalam
perutnya, berwarna hijau kehitaman. Muntahnya tidak terkontrol lagi, bahkan
keluar melalui hidung.
Terhitung 2 hari 2 malam Munira berpuasa, tidak dapat makan
dan minum. Karena jikapun dimasukkan makanan ke mulutnya akan berbahaya. Dokter
menganjurkan untuk menghabiskan seluruh cairan di dalam perut Munira dengan
cara pembuatan selang NGT.
Selang nasogastrik (nasogastric tube/NGT), yang dikenal juga
dengan nama selang makanan atau sonde, adalah selang plastik lunak yang
dipasang melalui hidung (nasal) menuju lambung (gaster). Agar tidak berpindah
posisi, selang akan direkatkan ke kulit di dekat hidung dengan pita perekat.
Rasanya bak petir yang menyambar hati kedua orang tua. Lagi
dan lagi Munira harus mengalami sakit ditempat yang berbeda. Hati orang tua
harus benar-benar ikhlas mendengar anjuran Dokter lagi. Kemudian selang NGT
segera dipasang dan hasilnya begitu banyak cairan hijau yang keluar dari
lambungnya. Rasanya dunia ini begitu sempit sehingga hanya penyakit Munira yang
harus mereka lihat.
Beralih dengan kesehatan kedua orangtuanya. Ibu tidak tahu
lagi mana jam makan pagi, siang, dan malam. Bahkan ibu akan makan jika disuap
oleh ayah. Berat badan ibu semakin hari semakin turun, karena memikirkan derita
Munira. Ayah sempat jatuh sakit di ruangan, semua itu wajar terjadi.
Bayangkan mereka berbulan-bulan tidur di rumah sakit.
Sementara ayah tidur hanya beralaskan tikar segi empat dilantai. Itupun ayah
tidak nyenyak tidur, karena Munira asyik nangis berkepanjangan. Namun Allah-lah
Maha segalanya, walau dalam keadaan begitu orang tua Munira masih diberi
kesabaran dan kekuatan yang luar biasa.